Rabu, 16 Januari 2019

Y.O.U


For somepeople who never seen me cried
I do cry
For somepeople who never seen me mad
I did.
I cried for something that i never reached
I mad for fallen to the arms that never belongs to me

Love is about payment
You pay with love
Or
You pay with sacrifice

I choosed the second one.

I never ask to met him
He came to my life, or i did
Acidentally, we've met!

Acidentally, we're a reflections
I never ask for this fellings
Never ask for the answers
But ...

I'm just human.
For sure, a woman.

Who just have a heart
Who always feel jealousy
Even the blame is always in me.

I released that feelings
I gave it permissions
And then i convessed

I really want to escape
I really want to go far far away
I really do that things. Alone.

But i remember why i convessed.
Just because i really really known
In this way, i'll never meet someone like a mirror to me
Never.

I smashed my heart into a pieces
I put them in a jar
I saved them deep inside the room

I cant face it throught
But i have to
I cant leaved him alone
But someday, i really have to

I really want to ask why?
But i know the answer
Allah just let me know,
Theres always somebody who has a problem like me or maybe even more

Why i fallen?
Thats my fault
I known he never belongs to me
But i decided to go after him
And now, i'm lost.

Lost in that eyes who always opened besides me
Just only for the night
Lost in his arms who always i reached when fall a sleep
Just for a few hours

At the end
I know love is about freedom
Love is about sincerities
Love is about respected for any decisions he tooks

At least
I never lied to myself
I saved my ego for myself
I never tooks the one without knowing the consequences

Cause loving you has  a consequences.

And magically,
I never regrets everything that we've done!
I never regrets this fellings
Never regrets to met you
Never regets every single things

I known you came for a reason
I want to be that reason
But you choosed your own reason

Thats oke, love is freedom right?
It is a freedom for me too to stay in the line
And then gone while had a chance

Dont be changing
Cause we dont have much time to see one on another
Even i never had a chance to keep
At least i know how it feels, be with someone who really you needed the most

Good night, ilvy :)

Sabtu, 05 Januari 2019

Temaram

Bulan tak pernah seindah mentari
Tapi mentari tak pernah gengsi untuk memberikan sinarnya
Pun sama sepertiku
Aku rela menelan deritaku bulat-bulat
Hanya demi kau melukis kisah bahagia bersamanya

Hari-hari yang tlah berlalu
Tak cukup mampu membunuh perasaanku
Hatiku masih saja berbincang tentangmu
Meski logikaku menuntut balas menghapusmu

Bukankah cinta adalah pengorbanan?
Maka kali ini, izinkan aku yang merajut jeruji besi hanya untuk menahan hati agar tak sampai ke pelukanmu lagi

Selasa, 04 Desember 2018

Dialog Diri


Selamat pagi matahari. Hari ini bulan tak seindah kemarin. Pagi ini pun wangi hujan tak semerbak yang lalu. Rutinitasku berganti, tapi tidak dengan kenangan. Dia berhenti. Teruntuk hati yang selalu patah. Ingat tidak? Bagaimana waktu itu kita mempercepat langkah kaki menaikki banyak anak tangga. Terengah-engah dan ketika sampai, sempat-sempatnya pula kita memfoto langit. Iya sih, saat itu langit memang sedang biru-birunya, seperti laut di atas kepala. Tak lama berselang kita tergesa-gesa memasukkan telepon genggam ke dalam saku. Siap bertarung. Laju itu pun terhenti, tepat di depan sudut kaki ini. Kedua pintunya terbelah, menatapku tanpa jera. Berdesakkan tak kenal lelah, menikmati udara dari sela-sela jendela kereta. Telat nih! pikirku. Berkali-kali ku coba nikmati berbagai desakan di dalam gerbong kereta, mencoba menikmati tiap esensi saat memulai hari. Inikah perjalanan baru yang harus kulalui setiap paginya? Hari berganti hari, minggu pun berganti bulan. Kini aku tak sendiri. Ingatkah hati saat kau pertama kali mencintai? Berusaha mati-matian menangguhkan segala kemungkinan di kemudian hari, berusaha untuk membangun tembok tinggi-tinggi agar tidak terjatuh lagi. Proses demi proses membutuhkan banyak waktu, butuh keyakinan hingga kau bersikeras mengiyakan.

Tapi entah apa yang merasuki jiwaku saat itu, saat fajar mengencani barat aku pun sibuk berdebat. Benarkah jalan ini? Meski aku tahu bahwa dirinya kini sudah tak sendiri lagi? Dengan segala keyakinan aku mengiyakan dan berdelusi akan bertahan. Banyak asa yang sudah kutangguhkan, banyak rasa yang telah kusingkirkan. Alaaahhh paling dia hanya bosan, main-main di tengah keramaian dan bertemu semacam persinggahan! Tak mungkin lah ia seserius itu! Begitu kata logikaku. Dengan kepercayaan diri, aku berjalan menyusuri setapak di tempat pengasingan hati, jauh dari kata tahu diri. Pelan tapi pasti, aku berdiri sendiri menyaksikan binar cahaya mentari di cermin bawah langit. Sama! Pintu demi pintu ia buka, rahasia demi rahasia ia ungkap. Tak ada beda! Ia bagaikan refleksi diriku dalam wadah berbeda, dalam kekuatan serupa berusaha memikulkan segala beban di atas kepala seorang diri. Bukan karena ingin, tapi hidup hanya memberinya konsekuensi. Aku tak sendiri! Badai kehidupan yang kami lalui, sama-sama meninggalkan pesakitan besar yang sebisa mungkin ditutupi dengan senyuman. Berulang kali jatuh, tak sedikit pula membungkuk berusaha utuh. Tapi percuma saja, semesta takkan membiarkan kami mendapatkan bahagia semudah langit mengecup sore.

Sore berkawan malam, aku? Rasanya hanya berkawan dengan sepi. Mendengarkan logika yang memerangi hati mati-matian. Bising rasanya, tapi aku tak bisa lari. Logika bersikeras memaki, mencaci, mencari celah persembunyian keraguan. Sedangkan hati? Dengan tenang melebarkan sayap, siap terbang. Rela kau jatuh dari ketinggian untuk sesuatu yang sudah jelas muaranya? Siapkah kau untuk membalut lukamu sendiri seperti sebelumnya? Tanya akal. Terlalu banyak pertanyaan yang mengusik kedamaian, terlalu luas perasaan membentangkan harapan. Bukan perkara cinta yang mendalam, bukan pula perkara ambisi yang teredam. Hanya saja…. Rasa-rasanya aku.. sudahlah. Sempat terpikir untuk mundur, menutup semua pintu dan mata berusaha menghilangkan semua asa. Memang dasarnya keras kepala! Hati pun tak sudah-sudah berbicara, hanya perkara rasa aman. Tiap kali hati berbicara, saat itu pula logika membara. Membombardir hati dengan beragam aksara tanya, meletupkan tiap pesakitan untuk sekadar mengingatkan. Lucunya, hati diam tak bergeming. Tak memunculkan jawaban, tak pula melontarkan pertanyaan. Seolah ia mati, atau lebih tepatnya pura-pura mati. Baru kali ini kau tak mampu menjawab persoalan logika, baru kali ini pula kau buntu tanpa ada pembelaan. Cuma nyaman! Itu yang selalu kau ucapkan.

Bagaimana pengorbanannya? Masih baru. Apakah dia merasa hal yang sama? Mungkin saja. Tidakkah kau kasihan dengan wanitanya? Tentu, untuk itu aku menerimanya kembali kepangkuan semestinya. Tapi kenapa kau memperkeras diri? Tidak tahu. Di mana harga yang selalu kau junjung tinggi itu? Dia tetap ada, tetap waspada. Yakinkah? Tidak mengerti. Semua berlalu begitu cepat, teridentifikasi pun tidak. Tapi rasanya telah mengenal lama.

Jika ia bilang aku adalah mimpinya, mungkinkah ia mimpiku juga?

Teruntuk hati yang selalu ingin mencintai, dapatkah kau berdiri kembali jika tahu bahwa mawar yang kau genggam itu berduri? Aku amat sangat mengerti jika inginmu untuk tetap berdiri, tapi tak bisa pula aku mengabaikan logika. Aku tak ingin terjebak dalam pesakitanku sendiri, menangis hingga rasanya sesak tiada henti.

Hati, bisakah kau identifikasi diri? Ke mana arahmu akan pergi? Baikkah ia? Yakinkah kau dengannya? Siapkah kau untuk kembali kecewa? Karena katanya, ia tak sanggup untuk memperjuangkanmu bahkan untuk sekadar menentukan sesuatu yang ia ingini sendiri. 

Hati, maukah kau berjuang sendiri lagi? Maukah kau menyusuri sepi dan tenggelam dalam sunyi untuk kesekian kali? 

Aku tahu, kau ingin menauti jemarinya tiap kali ia berdiri, berada dalam dekapnya tiap kali ia menepi.  Menatap jendelanya tiap kali mereka terbuka, mencicipi bibirnya tiap kali ia banyak bicara. Tapi kau tahu sendiri bahwa jiwanya takkan mampu kau miliki. Dan entah malam ke berapa ia akan berdiri dan meninggalkanmu sendiri lagi. Siapkah?

Kamis, 15 Februari 2018

Diri

Aku pernah mencintaimu dalam gelap. Dalam hening dan dalam sunyi. Kau datang bagai bisik. Membujuk mesra tanpa pernah memalingkan arah. Aku tertahan dalam sarangmu. Memadu kasih dengan bayanganmu. Hingga hujan datang membawa ribuan duri. Untuk apa? Untuk membunuhku. Saat itu bayangmu seolah hilang. Bermunculan dari satu pohon ke pohon lain. Semakin jauh.  Aku hanya dapat meratapmu dalam sesak. Dalam dingin yang mulai membekukan diri. Sesaat aku melihat bayangan lain, tidak itu bukan bayangan. Itu nyata. Rambut terurai, bibir melengkung tatkala melihatmu ada diujung jalannya. Kau nyata dengannya, tapi tidak denganku. Aku meringkuk dalam gelap. Dingin. Lembab. Aku merintih dan terisak tanpa suara. Sesak. Hujan datang lagi, tanpa henti membanjiri tubuhku dengan duri. Gelap adalah warna yang selama ini kulihat. Hitam adalah sahabatku, isak adalah suaraku. Entah berapa lama aku meringkuk, melihat lubang buaian yang kini telah menghitam dan bernanah. Semakin lama aku tak melihat bayangmu, purnama pun tak menceritakan sosokmu lagi. Dia bungkam. Menyaksikan aku sekarat dalam hitam. Siapakah kamu? Mengapa sehebat ini kau menyiksaku? Bagaimana caramu membawa jiwaku untuk memberikanmu waktu lebih lama untuk hidup dan memutuskan untuk bersamanya? Tidakkah kau lihat? Jingganya binar mata dan kuningnya sinar yang bermekaran dalam senyumku kala itu saat melihat bayangmu yang suatu saat menjanjikanku untuk menjadi nyata. Aku menggali diriku dalam-dalam, hanya untuk menjadi muaramu. Tapi nyatanya kau memalingkan diri dan menjadi nyata untuknya.

Aku memberanikan diri menyusuri hutan, saat purnama melarangku dalam diam. Sampai aku menemukan bilik di mana ada seseorang di sana. Iya menyesatkanku tapi aku bisa keluar dari akar kesakitan yang ia buat khusus. Aku berjalan hingga menemukan suara debur. Mencoba berlari dan inginku tenggelam hingga dasar laut terdalam. Tibatiba dia menahanku. Mengajakku berjalan menyusuri bagian hutan yang lain. Bagian yang belum pernah aku saksikan. Banyak rasa di dalamnya, banyak cahaya, banyak canda dan tawa. Hari demi hari aku lalui, berusaha melupakan bagian hutan satunya. Tapi tetap saja, kemana pun aku pergi, jejak hitam itu menyembunyikan diri di suatu tempat dalam hati. Menunggu, menanti, untuk kembali menyakiti hati. Menenggelamkan aku dalam hitam dan keputusasaan. Hingga akhirnya saat ini ia berhasil menelisik masuk dan mengancamku. Semua terasa runyam, aku melihat dia. Tertawa, bercanda, memberikan cahayanya untuk dia. Mungkinkah sisi hutan bagian itu akan membawaku kembali? Memenjarakan aku dalam akar kesakitan yang lebih kuat dari sebelumnya? Harusnya aku mendengar larangan purnama. Untuk tetap tinggal dan mengukir duri sebagai pakaianku. Tapi tetap saja ada bagian hati yang masih bisa merasakan cahayanya. Semoga saja. Semoga ia bisa menyelamatkanku kembali untuk yang kedua kali.

Rabu, 14 Februari 2018

Monolog Gelap

Mataku terpejam. Telingaku pun terbuka. Banyak suara. Banyak buaian yang membelai di udara. Berisik. Tapi sangat mendamaikan. Riuh. Namun sungguh menenangkan. Di atasku, ada dunia yang terbentang. Luas. Megah. Namun sepi. Di bawahku, ada dunia. Lembab. Padat. Ramai. Namun indah. Aku terjebak di antaranya. Berusaha menggapai salah satu dunia yang dapat membawaku pada damai. Sejajar denganku, ada bulat. Merona. Merekah. Namun hangat. Ia pun tak bisa aku gapai. Ia hanya mengelilingiku dan membuat kehangatan hingga sanubari. Tatapku kosong. Nanar membisu. Membungkam mulut dan bergelut dengan pikiran. Riuh itu pun datang bertubi-tubi. Aku pun meregangkan tangan. Menyambut buaian. Tapi tetap mataku terpejam. Bayangan itu datang menghampiri dalam gelap. Berusaha untuk bersinar dan menggapai. Langkah besarnya semakin lama semakin mendekat. Itukah?. Dia yang dijanjikan Tuhan untuk menjemput apa yang mereka sebut dengan bahagia bersamaku?. Banyak kabut dalam anganku. Mungkin Tuhan tak mengizinkanku untuk mengintip apa yang Ia rencanakan. Seketika tubuhku kaku. Buaian itu terhalang sesuatu. Hangat. Nyaman. Hanya itu yang kurasakan. Ada sepasang tangan yang melingkari tubuhku. Entah untuk menjaga. Atau membuangku ke dalam asa. Ada kepala yang tersandar di atas bahu. Merengkuh lirih. Mendekap erat. Dan berpagut manja. Panas tubuhnya menciptakan sebuah rasa. Mungkinkah dia? Yang kulihat dalam gelap, berjalan membawa sinar dan menjemput bahagia itu bersamaku?. Ada tubuh di belakangku.
Ada wangi yang menyerbak masuk dan memaksaku untuk tetap diam bersamanya. Buaian itu masuk menelisik. Riuh itu berkecamuk seolah cemburu. Dua dunia di antaraku seolah marah kepadanya. Marah karena berusaha memilikiku seutuhnya. Entah dari mana datang riuh yang lain. Seolah bersorak. Menertawakan aku yang terjebak dalam dekap. Aku tak mampu membuka mata. Seperti ia memaksaku untuk terlelap tanpa harus memberontak hilang. Desir darah mengalir deras. Nafasku pun memburu kencang. Degup jantungku pun bergerak tanpa irama jelas. Salah satu tangannya pun berusaha mendekat jemari. Merengkuh lembut. Namun kuat. Kepala itu pun berpindah. Ke belakang telinga dan membisikkan untaian kata. Janji. Katanya. Ia menjanjikan sesuatu yang tak sempat aku dengar. Suaranya hilang ditelan riuh. Seolah riuh tak mau aku percaya janjinya. Ia semakin mengeratkan dekapannya di tubuhku. Dengan salah satu tangannya pun mengencangkan gengamannya di tanganku. Aku paham. Paham mengapa ia melakukannya. Terasa ada permintaan yang tak mampu diucapkan lewat jalinan kata. Terasa ada sesuatu yang telah ia hancurkan. Namun ia memintaku untuk bertahan. Membuat semuanya kembali seperti semula. Bersamanya. Dalam dekapannya aku merasakan sesuatu. Yang tak terucap. Tak beraksara. Tapi tetap terjaga sepanjang ia belum mendekep sepenuhnya. Sakit. Beban. Buntu. Berusaha ia pecahkan segalanya. Membuat itu semakin ringan dan membuat jalan lain. Untuk apa?. Tanyaku dalam hati. Tiba-tiba ia hanya berbisik lirih. Menyelamatkanmu. Aku pun terbuai. Pada apa yang telah ia rengkuh. Entah apa yang harus aku genggam. Untuk mempercayakan itu padanya. Tapi buaiannya. Dekapannya. Membuat aku menganggukkan kepala. Membuat aku memenjarakan hati lebih lama. Dua dunia di antaraku mulai berkecamuk. Seolah tak rela melepaskan aku untuk berada dalam dekapnya.
Aku tersentak. Saat gaduh datang dari dunia di atasku. Riuh pun menghantam bertubi-tubi pijakanku. Menciptakan keramaian. Ketakutan. Dan air mata pun lepas membasahi diri. Buaian pun berubah menjadi ganas. Dan menghamtam pipiku dengan air mata. Aku berkata lirih. Aku takut. Dengan nafas tertahan dan badan gemetar. Aku di sini. Jawabnya. Aku tersadar. Dekapannya masih di sana. Nafasnya. Harumnya. Genggamannya. Masih pada tempatnya. Hanya saja. Dia gemetar. Entah merasa dingin atau takut. Tapi dia berusaha gagah menopangku. Berusaha untuk menciptakan kekuatannya sendiri. Untuk membawaku. Menenangkanku. Sampai badai itu berlalu pergi. Bulat itu hilang. Ketika gaduh datang. Setelah selesai. Bulat yang lainnya pun menghampiri. Mungkin mereka sudah tenang. Mungkin. Mungkin mereka sudah puas menguji siapa yang ada di belakangku saat ini. Itu hanyalah kemungkinan yang berkecamuk dalam kepalaku. Badannya tetap gemetar. Begitu pun aku. Tapi wajahnya tersenyum. Ya. Aku tau karena bibirnya berada tepat di telingaku. Tersungging perlahan. Dan mengencangkan dekapan. Di sana ada permata. Ucapnya. Banyak. Jawabnya lagi. Aku pun terdiam. Berusaha menciptakan panas dalam diri agar ia dan aku berhenti bergetar. Buaian pun kembali lembut. Namun tetap datang tanpa permisi. Ini malam. Katanya memperkenalkanku. Aku tahu. Jawabku untuk pertama kali. Ia kembali tersenyum. Mengencangkan dekapan. Dan meletakkan kembali kepalanya tepat di bahuku. Terlelap, pikirku. Sekian lama degup itu memelan. Desir itu kembali normal. Dan nafas itu pun tak lagi memburu. Semua terbiasa dengan kehadirannya. Begitu pula dengan dua dunia di antaraku. Berbulan-bulan aku terpejam. Berbulan pula aku dan dia bertukar kisah. Ketika semuanya terbiasa. Namanya di panggil. Entah oleh siapa. Dia menoleh. Melepaskan dekapan. Namun tidak dengan genggaman. Aku suka caranya tertawa. Mendekap. Menggenggam. Berbicara. Terlelap. Bahkan amarahnya. Semua seolah membuatku merasa hidup dalam dunia yang berbeda. Bukan dalam dunia antara. Dunia seutuhnya. Tapi sekarang berbeda. Ada yang mengusik ketenanganku. Membuat penjaraku semakin terkunci dan terbuang dalam-dalam. Apa yang aku suka kini tak lagi ada di belakangku. Dunia antara pun kembali berkecamuk. Badai pun kembali datang menghampiri. Tapi kali ini aku sendiri. Hanya menggenggam apa yang selama ini aku genggam. Aku ingin melepaskan. Supaya aku bisa pergi ke salah satu dunia antara. Tapi ia tak membiarkannya. Derai air mata pun kembali turun. Kali ini bukan membasahi tubuhku. Hanya saja pipiku terasa lembab. Dan ada sakit yang tak bisa aku obati sendiri. Bulat kembali mengeringkan tubuhku. Membiskkan bahwa kebahagiaan itu adalah ciptaan, bukan satu hal yang bisa kau cari atau dapat kau beli. Aku pun bungkam. Mencoba mengobati dan membuat bahagiaku sendiri.

Seketika aku pun lelah. Menikmati badai hingga ia tenang dengan sendirinya. Perlahan, jemari itu menyentuh tubuhku. Genggaman itu perlahan kembali mengerat. Tetapi apa yang kusuka darinya. Tetap jauh. Berkabut. Dan semakin tak terlihat. Aku pun meratap dalam gelap. Menunggu hingga badai tenang. Kabut itu hilang. Dan menyemogakan bahwa aku  akan kembali dalam dekapannya. Semoga. 

Rabu, 01 April 2015

Secangkir Kopi Malam

     Ketika mentari tertidur. Aku melihat setitik cahaya di antara gelap, semakin ku nikmati sinarnya semakin banyak pula titik yang menyala. Semakin ku pandang, semakin terang pula rumah-rumah di kota. Aku tak pernah mencari tau siapa yang bercahaya di antara gelap malam dan aku pun tak perduli mengapa banyak manusia yang mencintai cahaya itu di balik gelap. Indahnya pohon cemara kala ini hanya terlihat bentuk umumnya saja, tak ada lagi warna hijau yang merekah. Kokohnya gunung Semeru pun hanya terlihat samar di balik kabut. Semua di makan gelap. Aku berpikir bagaimana gelap mampu menelan warna-warna indah yang nyata? Bagaimana satu titik cahaya mampu bertahan disaat semua warna lenyap tak bersisa? Desir angin di atas balkon ini menyeruak tiap helai bulu kuduku. Begitu banyak titik terang di antara gelap, membuat gelap ini tak terasa menyeramkan. Banyak deru kendaraan berlalu-lalang, bunyi klakson yang terdengar seperti nyanyian nina bobo. Aku menyesap kopi susu panas di cangkir favoritku, merasakan nikmatnya kopi sachet renceng yang hampir setiap warung menjajakannya. 
     Desir angin, suara klakson, serbuan titik cahaya dan siluet benda nyata membuatku tenggelam dalam gelap. Tenggelam dalam dingin dan mendekap rindu yang teramat dalam. Rindu yang semakin lama, semakin banyak seperti titik cahaya yang bertahan dalam gelap. Mengingat kembali tiap mimik wajah yang mengukir perasaanmu yang kian tertutup dalam kabut kenangan, sama seperti warna indah yang lenyap dalam malam. Kopi yang ku sesap, masih kopi yang sama saat kita bersama, tapi tak ada kamu di sampingku. Itulah yang berbeda. Mengukir tawa dengan lelucon bodohmu, menghabiskan waktu dengan berbagai cerita yang tak pernah bosan ku dengar. Aku merindukanmu. Hal itulah yang membuatku begitu menikmati malam. Begitu menikmati sesapan kopi yang sama di dalam cangkir yang sama di waktu yang berbeda, aku begitu menginginkan sosok nyatamu yang mampu menghiburku dalam gelap, tanpa sembunyi di antara seru deru kendaraan. Aku ingin kamu. Kamu yang tengah berada di genggamannya, jemarimu yang terselip manis di antara sela-sela jari manisnya. Aku butuh kamu. Sama seperti saat-saat sebelumnya, tak ada jangka waktu untukku dalam membutuhkanmu. Tak ada jeda waktu untukku dalam merindukanmu. Tak ada bintang di kanvas hitam langit, sama seperti pancaran sinar yang ku pancarkan melalui mata. Tak ada. Semua yang kulakukan adalah palsu, semua bahagia yang kuciptakan itu semu. Tak perlu alasan untukku tertawa, tak butuh penjelasan untukku memancarkan cahaya di mata ini. Semua sudah jelas. Aku tak tertawa tulus ketika tak ada kamu, aku tak memancarkan cahaya saat kamu tak ada di sampingku. Semua sudah jelas, alasanku bahagia adalah kamu. 
     Kamu adalah segala dari alasan untukku memancarkan ketulusan tanpa adanya kepalsuan. Aku baru sadar ketika aku melihat jemarimu terselip erat di jemarinya. Jangan tanya apakah hatiku terluka? Tentu jawabannya, iya. Namun apa dayaku? Aku tak mungkin merebutmu darinya, aku tak setega itu. Bahagiamu adalah bahagiaku, terlepas dari rasa sakit yang menghantui langkahku. Ketulusanku bagaikan malam. Tetap hadir meski terkadang kau sudah terlelap dalam indahnya mimpi, sehingga kau lupa bahwa aku ada di antara kau dan mimpi. Sayangku mungki seperti mentari, yang tak akan pernah menyesal mengiringi harimu meski kau selalu mencela sinar panasku. Aku sayang kamu, itulah ketulusan yang terjadi dan akan tersimpan dalam hati.

Kamis, 05 Februari 2015

BARU

Aku masih ingat waktu pertama kita bertemu, kemudian menjalani hari-hari bersama tanpa rasakan datang-perginya waktu. Aku masih bisa mendengar tiap untaian cerita yang kau utarakan padaku bahagia, sedih, pilu. Semua kau tumpah ruahkan padaku. Semua masih tergambar dengan jelas bahkan sekilas tampak nyata, kau nyaringkan gelak tawa saat waktu menggelitik tubuhmu atau bahkan kau menitikkan air matamu saat waktu melukai harapanmu. Sampai akhirnya waktu menunjukkan sebuah tanda tanya besar diantara aku dan kamu, kau berjalan menyusuri jejak kakiku di masa lalu, mencari kebenaran atas sebuah tanda tanya itu. Dengan cara apapun kau berusaha untuk mengungkap apa yang waktu sembunyikan dari kenyataan. Sampai kau menemukkan titik terang, sampai kau tebarkan angka acak ketika berbicara padaku. Kau punya kunci untuk pintu yang telah lama tertutup rapat, kau buka dan kau tebarkan bunga kenangan di dalamnya tawa, canda, dan air mata, semua kau tebarkan bersama bunga kenangan itu. Perlahan kau membuatku tersadar akan angka acak yang sering kau bincangkan padaku, perlahan kau menuntunku untuk menguruti angka tersebut. Angka demi angka yang merangkai sebuah cerita, membuatku merasa menjadi wanita paling bodoh karna tak menyadari hal itu. Sekarang kau menjelaskan segalanya, merangkai cerita baru yang lebih jelas dan terbuka, membuatku merasa sempurna karna memilikimu. Angka-angka yang kau tebarkan masih saja teracak tapi bedanya sekarang kau jelaskan padaku perlahan, kau urutkan angka itu untukku, kau bawaku pada duniamu. Melihat dunia dari matamu, menggenggam angin melalui jemarimu, seakan aku masuk ke dalam tubuhmu, merasakan setiap desir darah yang mengalir dalam nadimu. Itu memang terjadi, kita menyatu. Kau pun merasakan demikian, mimpi demi mimpi kita ukir, masa demi masa kita arungi, masalah demi masalah kita hadapi. Semua seolah satu, kita percaya bahwa takdir yang memertemukan kita, tapi apa kita juga percaya bila takdir menginginkan perpisahan diantara kita? aku tak berharap banyak untukmu yang menjanjikan akan tinggal, meskipun harapan itu tetap ada. Bila kau menemukannya, kejarlah.. aku takkan halangi kau untuk gapai kebahagiaanmu yang nyata. Setidaknya di luar pintu aku masih dapati kau walau hanya sebagai teman. Seperti dulu, saat pintu ini masih tertutup rapat, saat kau belum mulai mencari kebenaran di jejak masa laluku. Tawa, canda saat kita berkumpul nampaknya akan kembali hidup, seolah apa yang kau tebarkan di balik pinu ini tak pernah terjadi. Tapi, satu hal yang harus kau ingat, bahwa apa yang telah kau dapatkan di balik pintu ini dan apa yang telah kau tebarkan. Selama mungkin itu takkan pernah mati...