Selamat pagi matahari. Hari ini
bulan tak seindah kemarin. Pagi ini pun wangi hujan tak semerbak yang lalu. Rutinitasku berganti, tapi tidak dengan kenangan. Dia berhenti. Teruntuk hati
yang selalu patah. Ingat tidak? Bagaimana waktu itu kita mempercepat langkah
kaki menaikki banyak anak tangga. Terengah-engah dan ketika sampai,
sempat-sempatnya pula kita memfoto langit. Iya sih, saat itu langit memang
sedang biru-birunya, seperti laut di atas kepala. Tak lama berselang kita
tergesa-gesa memasukkan telepon genggam ke dalam saku. Siap bertarung. Laju itu
pun terhenti, tepat di depan sudut kaki ini. Kedua pintunya terbelah, menatapku
tanpa jera. Berdesakkan tak kenal lelah, menikmati udara dari sela-sela jendela
kereta. Telat nih! pikirku. Berkali-kali ku coba nikmati berbagai desakan di
dalam gerbong kereta, mencoba menikmati tiap esensi saat memulai hari. Inikah
perjalanan baru yang harus kulalui setiap paginya? Hari berganti hari, minggu
pun berganti bulan. Kini aku tak sendiri. Ingatkah hati saat kau pertama kali
mencintai? Berusaha mati-matian menangguhkan segala kemungkinan di kemudian
hari, berusaha untuk membangun tembok tinggi-tinggi agar tidak terjatuh lagi. Proses
demi proses membutuhkan banyak waktu, butuh keyakinan hingga kau bersikeras
mengiyakan.
Tapi entah apa yang merasuki
jiwaku saat itu, saat fajar mengencani barat aku pun sibuk berdebat. Benarkah jalan
ini? Meski aku tahu bahwa dirinya kini sudah tak sendiri lagi? Dengan segala
keyakinan aku mengiyakan dan berdelusi akan bertahan. Banyak asa yang sudah
kutangguhkan, banyak rasa yang telah kusingkirkan. Alaaahhh paling dia hanya
bosan, main-main di tengah keramaian dan bertemu semacam persinggahan! Tak mungkin
lah ia seserius itu! Begitu kata logikaku. Dengan kepercayaan diri, aku
berjalan menyusuri setapak di tempat pengasingan hati, jauh dari kata tahu
diri. Pelan tapi pasti, aku berdiri sendiri menyaksikan binar cahaya mentari di
cermin bawah langit. Sama! Pintu demi pintu ia buka, rahasia demi rahasia ia
ungkap. Tak ada beda! Ia bagaikan refleksi diriku dalam wadah berbeda, dalam
kekuatan serupa berusaha memikulkan segala beban di atas kepala seorang diri. Bukan
karena ingin, tapi hidup hanya memberinya konsekuensi. Aku tak sendiri! Badai
kehidupan yang kami lalui, sama-sama meninggalkan pesakitan besar yang sebisa
mungkin ditutupi dengan senyuman. Berulang kali jatuh, tak sedikit pula
membungkuk berusaha utuh. Tapi percuma saja, semesta takkan membiarkan kami
mendapatkan bahagia semudah langit mengecup sore.
Sore berkawan malam, aku? Rasanya
hanya berkawan dengan sepi. Mendengarkan logika yang memerangi hati
mati-matian. Bising rasanya, tapi aku tak bisa lari. Logika bersikeras memaki, mencaci, mencari celah persembunyian keraguan. Sedangkan
hati? Dengan tenang melebarkan sayap, siap terbang. Rela kau jatuh dari
ketinggian untuk sesuatu yang sudah jelas muaranya? Siapkah kau untuk membalut
lukamu sendiri seperti sebelumnya? Tanya akal. Terlalu banyak pertanyaan yang
mengusik kedamaian, terlalu luas perasaan membentangkan harapan. Bukan perkara
cinta yang mendalam, bukan pula perkara ambisi yang teredam. Hanya saja…. Rasa-rasanya
aku.. sudahlah. Sempat terpikir untuk mundur, menutup semua pintu dan mata
berusaha menghilangkan semua asa. Memang dasarnya keras kepala! Hati pun tak
sudah-sudah berbicara, hanya perkara rasa aman. Tiap kali hati berbicara, saat
itu pula logika membara. Membombardir hati dengan beragam aksara tanya,
meletupkan tiap pesakitan untuk sekadar mengingatkan. Lucunya, hati diam tak
bergeming. Tak memunculkan jawaban, tak pula melontarkan pertanyaan. Seolah ia
mati, atau lebih tepatnya pura-pura mati. Baru kali ini kau tak mampu menjawab
persoalan logika, baru kali ini pula kau buntu tanpa ada pembelaan. Cuma nyaman!
Itu yang selalu kau ucapkan.
Bagaimana pengorbanannya? Masih baru.
Apakah dia merasa hal yang sama? Mungkin saja. Tidakkah kau kasihan dengan
wanitanya? Tentu, untuk itu aku menerimanya kembali kepangkuan semestinya. Tapi
kenapa kau memperkeras diri? Tidak tahu. Di mana harga yang selalu kau junjung
tinggi itu? Dia tetap ada, tetap waspada. Yakinkah? Tidak mengerti. Semua berlalu
begitu cepat, teridentifikasi pun tidak. Tapi rasanya telah mengenal lama.
Jika ia bilang aku adalah
mimpinya, mungkinkah ia mimpiku juga?
Teruntuk hati yang selalu ingin
mencintai, dapatkah kau berdiri kembali jika tahu bahwa mawar yang kau genggam
itu berduri? Aku amat sangat mengerti jika inginmu untuk tetap berdiri, tapi tak
bisa pula aku mengabaikan logika. Aku tak ingin terjebak dalam pesakitanku
sendiri, menangis hingga rasanya sesak tiada henti.
Hati, bisakah kau identifikasi
diri? Ke mana arahmu akan pergi? Baikkah ia? Yakinkah kau dengannya? Siapkah kau
untuk kembali kecewa? Karena katanya, ia tak sanggup untuk memperjuangkanmu
bahkan untuk sekadar menentukan sesuatu yang ia ingini sendiri.
Hati, maukah kau berjuang sendiri
lagi? Maukah kau menyusuri sepi dan tenggelam dalam sunyi untuk kesekian kali?
Aku tahu, kau ingin menauti jemarinya tiap
kali ia berdiri, berada dalam dekapnya tiap kali ia menepi. Menatap jendelanya tiap kali mereka terbuka, mencicipi bibirnya tiap kali ia banyak bicara. Tapi kau tahu
sendiri bahwa jiwanya takkan mampu kau miliki. Dan entah malam ke berapa ia
akan berdiri dan meninggalkanmu sendiri lagi. Siapkah?